
FIFA Kembali Jadi Sorotan Global desak Banned Israel
Federasi Sepak Bola Dunia atau FIFA kembali menjadi sorotan publik internasional seiring menguatnya gelombang boikot terhadap keikutsertaan Israel di Kualifikasi Piala Dunia 2026. Desakan terbaru datang dari organisasi nirlaba asal Amerika Serikat, Avaaz, yang menyuarakan pesan mendalam melalui sebuah video kampanye.
Avaaz menilai FIFA menerapkan standar ganda dalam mengambil keputusan. Mereka membandingkan langkah cepat FIFA saat menangguhkan Rusia dari ajang internasional setelah invasi ke Ukraina dengan sikap berbeda terhadap Israel yang dituding melakukan pelanggaran berat di Gaza.
Posisi Israel di Kualifikasi Piala Dunia 2026
Timnas Israel saat ini masih aktif mengikuti Kualifikasi Piala Dunia 2026 di zona Eropa. Mereka tergabung di Grup I bersama Italia, Norwegia, Estonia, dan Moldova. Dari lima pertandingan yang sudah dimainkan, Israel berhasil mencetak sembilan gol dan menempati posisi ketiga klasemen sementara.
Posisi mereka cukup kompetitif karena memiliki poin yang sama dengan Italia, meski kalah dalam selisih gol. Norwegia sementara ini memimpin klasemen dengan 15 poin, sementara Israel berusaha menjaga peluang lolos melalui jalur grup atau play-off.
Namun, peluang Israel untuk melaju ke Piala Dunia diwarnai kontroversi besar. Banyak pihak mempertanyakan keabsahan keterlibatan mereka, terutama setelah PBB menyatakan adanya dugaan kejahatan perang dan genosida yang dilakukan di Gaza.
Baca Artikel selanjutnya : Spanyol Ancam Boikot Piala Dunia Jika Timnas Israel Lolos
Pesan Video dari Avaaz: Kritik Langsung ke FIFA

Dalam video kampanye yang dirilis Avaaz, seorang pria menyampaikan pesan langsung kepada FIFA dengan nada kritis.
“Hai FIFA, kami punya pertanyaan buat kamu. Mengapa standar ganda membantu Israel?” buka pernyataan tersebut.
Avaaz mengingatkan bahwa FIFA pernah mengambil langkah tegas terhadap Rusia dengan menangguhkan partisipasinya di semua ajang internasional setelah invasi ke Ukraina. Langkah serupa bahkan pernah dilakukan pada Afrika Selatan pada 1961 karena kebijakan apartheid.
“Namun hari ini, setelah PBB menyatakan Israel melakukan kejahatan perang dan genosida di Gaza, FIFA justru masih menggelar karpet merah untuk mereka,” lanjut pernyataan dalam video.
Avaaz menegaskan bahwa tidak pantas bagi pelaku kejahatan kemanusiaan diberi kesempatan tampil di panggung terbesar sepak bola dunia. Mereka pun mendesak FIFA agar segera menangguhkan Israel dari ajang Kualifikasi Piala Dunia mendatang.
Isu Standar Ganda FIFA
Pernyataan Avaaz memperkuat kritik yang selama ini diarahkan kepada FIFA terkait isu standar ganda. Federasi yang bermarkas di Zurich, Swiss, itu sering dituding lebih memprioritaskan kepentingan politik dan ekonomi dibandingkan prinsip keadilan universal dalam sepak bola.
Kasus Rusia menjadi contoh nyata. Dalam waktu singkat, FIFA langsung mengambil keputusan tegas untuk mengeluarkan Rusia dari Piala Dunia 2022 serta seluruh ajang resmi FIFA dan UEFA. Namun, kasus Israel justru diperlakukan berbeda meski situasi kemanusiaan di Gaza juga mendapat sorotan global.
Langkah FIFA yang dianggap tidak konsisten inilah yang membuat kritik semakin tajam. Publik menilai FIFA harus lebih transparan dan konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip fair play, bukan hanya di lapangan, melainkan juga dalam kebijakan organisasi.
Reaksi Dunia Sepak Bola dan Politik
Desakan terhadap FIFA bukan hanya datang dari organisasi masyarakat sipil, tetapi juga sejumlah kelompok suporter, aktivis hak asasi manusia, hingga pihak politik di berbagai negara. Banyak yang menilai bahwa memberi kesempatan Israel tetap tampil di Kualifikasi Piala Dunia sama saja dengan memberikan legitimasi atas tindakan yang dituding sebagai kejahatan kemanusiaan.
Beberapa asosiasi sepak bola nasional dikabarkan juga mulai mempertimbangkan sikap terkait kemungkinan boikot. Jika gelombang protes semakin besar, FIFA berpotensi menghadapi krisis legitimasi yang dapat mengganggu kelancaran penyelenggaraan Piala Dunia 2026.
Tantangan FIFA Menjelang Piala Dunia 2026
Piala Dunia 2026 yang akan digelar di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko seharusnya menjadi pesta sepak bola terbesar dengan format baru yang melibatkan 48 tim. Namun, jika FIFA gagal merespons isu Israel, ajang tersebut bisa dibayangi oleh kontroversi politik yang berlarut-larut.
FIFA dihadapkan pada dilema besar: mempertahankan Israel dalam kualifikasi demi menjaga netralitas politik, atau mengambil langkah tegas untuk menjaga kredibilitas moral dan konsistensi kebijakan. Apapun pilihannya, keputusan FIFA akan menentukan citra organisasi di mata dunia.